Pembangunan Hotel di Kabupaten Kuningan Diduga Menyimpang, Uha: Polda Jabar Segera Panggil Ketua TKPRD
KUNINGAN – Pembangunan berskala besar di Kabupaten Kuningan mulai memicu polemik. Sejumlah pihak menilai bahwa perkembangan pembangunan yang berlangsung saat ini diduga telah menyimpang dari blueprint (cetak biru) yang telah disepakati dalam Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Kuningan Nomor 26 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Kuningan 2011-2031.
Kabupaten yang dikenal dengan konsep konservasi berbasis pertanian dan pariwisata ini, disebut-sebut mulai dibebani dengan kehadiran industri besar yang dinilai melanggar kebijakan tata ruang.
Ketua LSM Frontal Kuningan, Uha Juhana, kepada kuninganreligi.com, Ahad (20/10/2024) menyebutkan, Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kuningan seharusnya menjadi pedoman untuk memastikan bahwa pembangunan di daerah ini terarah sesuai tujuan.
Namun, imbuhnya, penyimpangan yang terjadi, termasuk pembangunan industri yang melampaui batas yang telah ditentukan, dianggap mencederai komitmen pemerintah daerah terhadap konservasi dan pelestarian lingkungan.
Kasus yang paling menonjol, sambung Uha, adalah pembangunan Hotel Santika Premiere di kawasan objek wisata Linggajati, Desa Bojong, Kecamatan Cilimus.
Proyek tersebut, diungkapkannya, terindikasi melanggar sejumlah regulasi, termasuk Perda Nomor 7 Tahun 2015 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
“Pembangunan ini juga diduga mengancam kelestarian kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC), di mana proyek tersebut berlangsung,” sambung Uha dalam keterangannya.
Menurutnya, kecurigaan publik semakin mencuat setelah beberapa pejabat Kabupaten Kuningan dipanggil oleh Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Jawa Barat.
Pemanggilan tersebut terkait dengan dugaan tindak pidana dalam penerbitan surat rekomendasi perizinan pembangunan hotel oleh Tim Koordinasi Penataan Ruang Daerah (TKPRD).
Pemeriksaan para pejabat ini, dilakukan sebagai tindak lanjut dari indikasi pelanggaran yang didapatkan penyidik, termasuk dugaan penyalahgunaan izin pemanfaatan air bawah tanah dan pelanggaran tata ruang yang melebihi denah yang diajukan.
Menurut informasi, para pejabat yang sudah dipanggil oleh penyidik Ditreskrimsus Polda Jabar termasuk Kepala Dinas dan Camat Cilimus, serta Kepala Desa Bojong.
“Hanya Ketua TKPRD saat itu, Dr. Dian Rachmat Yanuar, yang belum dipanggil untuk memberikan klarifikasi,” sambungnya.
Pemanggilan terhadap yang bersangkutan, sebut Uha, diharapkan dapat memberikan kejelasan terkait dugaan tindak pidana penataan ruang.
Berdasarkan bukti awal yang didapat, dibeberkannya, izin pembangunan Hotel Santika Premiere di Linggajati diduga melanggar Perda Nomor 26 Tahun 2011, di mana kawasan tersebut termasuk dalam zona rawan bencana letusan gunung berapi.
“Rapat koordinasi yang dilakukan TKPRD pada Juni 2021 lalu, yang disertai dengan surat rekomendasi izin pembangunan, justru menimbulkan pertanyaan terkait legalitas dan keamanan proyek tersebut,” ungkapnya.
Pihaknya melihat adanya kejanggalan dalam proses perizinan ini. Pemerintah Daerah seharusnya lebih ketat dalam menjaga komitmen terhadap tata ruang dan pelestarian lingkungan.
Sejumlah aktivis juga mendesak agar Aparat Penegak Hukum (APH) menindak tegas pelanggaran tata ruang yang terjadi. Aktivis dari komunitas Anak Rimba (AKAR) misalnya, turut mengkritisi keberadaan industri besar yang dapat merusak ekosistem lingkungan dan lahan hijau di Kuningan.
“Kami berharap pihak berwenang bertindak tegas dalam hal ini. Tata ruang bukan sekadar aturan, tetapi harus menjadi dasar dalam menjaga kelestarian alam dan memastikan pembangunan berkelanjutan,” tambah aktivis Akar dalam keterangannya.
Pemerintah Kabupaten Kuningan diimbau untuk segera melakukan peninjauan kembali kebijakan tata ruang dan mengutamakan pembangunan yang sejalan dengan prinsip konservasi.
Pembangunan industri yang tidak sesuai dengan RTRW dikhawatirkan dapat menimbulkan kerusakan lingkungan yang tidak dapat diperbaiki. (Nars/rls)