Home / Lingkungan / Pembangunan Tugu di Puncak Gunung Ciremai Menuai Kritik, Dianggap Langgar Adat dan Hukum Alam

Pembangunan Tugu di Puncak Gunung Ciremai Menuai Kritik, Dianggap Langgar Adat dan Hukum Alam

KUNINGAN – Pembangunan tugu permanen di puncak Gunung Ciremai (3.078 mdpl) menuai kritik keras dari tokoh masyarakat dan pemerhati budaya. Bangunan yang terbuat dari semen tersebut dianggap melanggar norma adat Sunda dan hukum alam, yang memandang gunung sebagai kawasan sakral dan terlarang untuk diintervensi.

Saat ini, sedikitnya ada tiga tugu yang didirikan oleh pejabat, dan hal ini memicu keprihatinan dari Komunitas Incu Putu Pangauban Cisanggarung.Rana Suparman, perwakilan dari komunitas tersebut, menyampaikan kekecewaannya.

“Kami merasa ada kekecewaan, waktu Pj Bupati Kuningan saat itu datang ke puncak malah bikin tugu, ngapain? Apakah karena krisis eksistensi gitu kan, karena ingin diabadikan?,” ujar Rana. Ia menegaskan, meskipun tujuannya baik, pembangunan di kawasan puncak gunung tetap tidak diperbolehkan.

Menurut pria yang juga menjabat sebagai anggota DPRD Kabupaten Kuningan ini, ada patokan atau hukum adat dari para leluhur bahwa puncak gunung adalah kawasan larangan. “Kawasan larangan itu puncak gunung, kawasan serapan, itu kawasan larangan. Tidak boleh diintervensi, tidak boleh diproduksi. Itu mah sudah hukum,” tegasnya.

Dalam budaya Sunda, gunung memiliki kedudukan penting sebagai “tetengger” atau penanda wilayah dan dianggap sebagai “tengah negara.” Hal ini termuat dalam pantun Rajah Nataan Gunung. Rana menyebut para pejabat seharusnya memahami nilai-nilai ini, tetapi sayangnya, hal itu sering dilanggar demi kepentingan kekuasaan.

Mendaki atau menikmati keindahan alam Ciremai, menurut Rana, tetap diperbolehkan. Kegiatan ini dapat menjadi sarana untuk riset dan mendokumentasikan kondisi gunung.

Ada istilah “hamo dibasa, lamun can disaba. Beunang dibasa, lamun geus disaba” yang berarti suatu hal baru bisa diceritakan jika sudah didatangi. Namun, dengan adanya kerusakan akibat intervensi manusia, kondisi gunung saat ini berbeda jauh dari cerita para leluhur.

Rana berharap ke depannya kesadaran akan pentingnya menjaga kawasan gunung sebagai tempat yang sakral dapat tumbuh. Ia menyarankan, jika ada keinginan untuk membangun monumen, dapat dilakukan di area yang diizinkan, seperti kawasan Baladahan atau zona produksi lainnya. “Silakan orang berekspresi dengan momentum politiknya, momentum apanya. Tapi hukum tidak boleh dilanggar,” pungkasnya. (Nars)

Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *