KHAZANAH – Sehubungan dengan telah terbentuknya Pengurus Paguyuban Keluarga Besar Keturunan Kyai Hasan Maolani Lengkong Kuningan Jawa Barat, maka dipandang perlu untuk semua keturunan Eyang Kyai Hasan Maolani bil khusus pengurus mengenal, mengetahui, memahami dan syukur Alhamdulillah apabila dapat menghidupkan amal ibadahnya serta heroisme perjuangannya.
Eyang Kyai Hasan Maolani kita yakini sebagai ulama khos sekaligus tokoh besar yang sangat berpengaruh di Tatar Sunda sehingga oleh kolonialis Belanda diasingkan dan dipenjarakan di Menado Sulawesi Utara hingga ahir hayatnya.
- BTNGC Klaim Longsor Bukan Dampak Pembangunan Arunika, Bupati Kuningan Bicara Begini
- Dede Ismail Desak Pembentukan Tim Investigasi Gabungan, Soroti Longsor di Bawah Arunika
- Pelatihan Bela Negara Pelajar SLTP di Kuningan, Bupati Dian: Investasi Moral untuk Anak Bangsa
- Jalan Penghubung Citenjo–Bantar Panjang Nyaris Putus, Warga Malah Singgung Harga Karpet Rp99 Juta
- Longsor di Kawasan Bawah Wisata Arunika, Pemerhati Lingkungan Ingatkan Risiko Daya Dukung Alam
Eyang Kyai Hasan Maolani yang penulis singkat menjadi EKHM lahir di desa Lengkong kecamatan Garawangi kabupaten Kuningan pada Hari Senin Legi Tanggal 22 Mei 1782 Masehi atau 8 Jumadil Akhir 1196 Hijriyah.
Ibunya bernama Ny. Murtasim binti kyai Arifah asal Garawangi dan bapaknya bernama Kyai Tubagus Lukman bin kyai Sathor dari desa Citangtu Kuningan.
Keduanya menetap di desa Lengkong dan memiliki pesantren yang diberi nama Roudlotuttholibin.
Eyang Kyai Hasan Maolani / EKHM memiliki 11 anak dan hampir semuanya menetap di Kuningan, kecuali cucu cucunya yang ditikah oleh ulama atau yang menikahi keturunan ulama yang tersebar hususnya di wiilayah Priangan Jawa Barat.
Dari 11 anak itu hanya 6 yang dikaruniai keturunan yakni;
- Kyai Imroni
- Nyai Mu’minah
- Nyai Roqoyah
- Kyai Imamuddin
- Kyai Absori
- Kyai Akhyar.
Dari ke Enam keturunan itulah anak Cucu EKHM tersebar di banyak daerah khususnya di Jawa Barat.
EKHM semasa remaja sampai dewasa hidup dari pesantren ke pesantren guna menuntut ilmu sebagaimana tradisi dari para leluhurnya.
EKHM mulai belajar di Pesantren Pangkalan Ciawigebang – Cidahu – Kadugede – Rajagaluh, Majalengka juga Babakan Ciwaringin – Cirebon.
Setelah menguasai banyak ilmu disertai izin para gurunya, EKHM banyak menerima santri dari beberapa daerah yang belajar kitab serta mendalami thoriqoh sathoriyah yang diwariskan bapaknya.
Selain Thoriqoh EKHM membentengi para santri serta para tamu yang mengunjunginya di Lengkong dengan semangat perlawanan kepada penjajah belanda yang sering disebutnya sebagai bangsa najis dan kafir sehingga perlu dilawan.
Adapun perlawanan yang dilakukan oleh EKHM terhadap kolonial Belanda itu diantaranya dengan cara penolakan segala macam bentuk kerjasasama dengan penjajah kafir khususnya untuk membayar upeti atau setoran pajak kepada pemerintah bentukan Belanda dari hasil pertanian pribumi yang menjadi santri dan masyarakat lokal.
Kemudian perlawanan selanjutnya (Ini masih perlu dicarikan sumber aslinya) adalah aktif bertukar kirim pasukan santri dengan kelompok pesantren yang melakukan perlawanan atau pemberontakan kepada penjajah.
Beradasar sejarah nasional rentang waktu 1800 sampai 1900 Masehi ada sekirar 112 kali peperangan antara pesantren dengan penjajah, terutama yang paling besar peperangan Pangeran Diponegoro dengan Belanda pada tahun 1825 – 1830 M.
Penulis masih menelusuri perihal terjadinya perang Lengkong Kuningan dengan penjajah Belanda pada sekitar tahun 1830an.
Karena semakin banyaknya santri yang belajar serta tetamu yang datang kepada EKHM disertai efek penolakan kerjasama dengan penjajah, maka pemerintah kolonial Belanda memerintahkan Residen wilayah Cirebon untuk merayu EKHM agar bersedia melakukan pertemuan di Cirebon.
Namun setelah EKHM bertemu dengan wakil kolonial Belanda, beliau malah ditangkap dan ditahan di Cirebon.
EKHM dipenjara penjajah Belanda di Cirebon tahun 1841 M pada usia 59 tahun selama 3 bulan.
Karena banyak yang menjenguk EKHM dibawa ke Batavia dan di penjara selama 4 bulan. Ketika di Batavia, yang menjenguk EKHM semakin banyak yang pada ahirnya di buang ke pulau Kaima daerah Ternate kurang lebih 100 hari, selanjutnya dipenjarakan di Kampung Jawa Tondano daerah Menado Sulawesi Utara.
EKHM Resahkan Kolonial Belanda
Perlawanan yang dilakukan para kyai pondok pesantren pada tahun 1800-an Masehi sangat merugikan hegemoni penjajah, bahkan akibat perang Diponegoro saja (1825 – 1830) Belanda sampai berhutang jutaan Gulden.
Tidak terkecuali bentuk perlawanan EKHM yang terus meluas dengan melakukan ajakan kepada para santri dan masyarakat untuk tidak menyetorkan hasil bumi khususnya kopi.
Bahkan EKHM menolak penanaman pohon kopi masal di wilayah Kuningan dan sekitarnya (Kopi Kuningan merupakan kopi yang masuk terbaik dunia).
EKHM menolak karena setiap hasil panen harus dijual kepada Belanda dengan harga sangat murah dan diminta upetinya.
EKHM memilih untuk menanam sayuran dan palawija ( bahkan ada sebahagian pitutur bahwa EKHM menyuruh warga lebih baik menanam pohon sawo ketimbang tanam kopi) untuk kebutuhan pokok masyarakat.
Selain daripada itu EKHM menginstruksikan agar hasil panen itu lebih baik dibagikan kepada fakir miskin. Lebih dari itu EKHM mentradisikan selamatan warga pada hari tertentu agar masyarakat dapat saling berbagi daripada hasil bumi itu diambil oleh pihak penjajah.
Kyai Hasan Maolani berpandangan bahwa pemberian upeti, pajak gendongan dan kerjasama dengan penjajah kafir sangat bertentangan dengan ajaran agama, lebih baik adakan hajat bumi dan selamatan agar aneka makanan itu dapat dinikmati oleh warga miskin yang sungguh membutuhkan.
Selain mentradisikan amalan Thoriqoh, EKHM mengajari pula para santri dan warga setempat ilmu beladiri ( pencak silat) yang di kemas dengan kesenian rudat agar tidak dimata matai antek Belanda.
EKHM sering bertukar stategi dengan para kyai Jawa untuk melakukan perlawanan tidak hanya dalam bentuk phisik, melainkan dengan gerakan politik pribumi agar hukum yang dibuat Belanda tidak merugikan bangsa pribumi.
Berdasar pitutur pemerhati sejarah, EKHM turut mempelopori gerakan masyarakat untuk tidak sepenuhnya mematuhi titah serta kedudukan Adipati Kuningan yang membawahi Tumenggung Cikaso dan Tumenggung Luragung yang berada dibawah ke-residenan Cirebon, karena keberadaan mereka sering merugikan masyarakat pribumi atas tekanan penjajah Belanda.
Gerakan perlawanan besar EKHM dilaporkan oleh antek antek penjajah yang pada ahirnya disikapi oleh kolonial dengan menebar fitnah bahwa EKHM telah melakukan penyimpangan syariat dengan menyebarkan surat kepada para pembesar diwilayah Jawa.
EKHM dituduh golongan syetan dengan fitnah telah mewajibkan warga masyarakat untuk mengadakan selamatan atau sasajen setiap hari Jum’at atau hari lain agar rumah dan keluarga tidak didatangi syetan yang berakibat mushibah bagi yang tidak mengikuti perintah EKHM.
Surat fitnah EKHM sampai ke beberapa daerah khususnya Kuningan, Cirebon, Majelengka, Tasikmalaya, Sumedang, Priangan, Cianjur dan Banyumas.
Karena dipandang meresahkan masyarakat Jawa maka pemerintah kolonial mengatur strategi bersama Residen Cirebon untuk menangkap EKHM dengan cara diplomatis, yang kemudian EKHM tidak di izinkan kembali ke Kuningan alias dipenjarakan sebagai tahanan negara hingga ahir hayatnya pada 29 April 1874 sebagaimana diuraikan diatas.
Penulis berpandangan bahwa satu satunya tokoh ulama dan pejuang revolusi Kuningan yang berani melawan keserakahan kolonialis Belanda sampai harus di buang jauh tiada lain tokoh besar yang bernama Kyai Hasan Maolani.
Alhamdulillaah setiap tahun keturunan Eyang Kyai Hasan Maolani mengadakan acara haol yang sering difasilitasi pemerintah kabupaten meski bersifat alakadarnya.
Tentu harapan penulis penghargaan itu tak sebatas pemberian nama jalan desa dari desa Karangtawang – Lengkong ke desa Sindangsari – Ancaran saja, lebih bersyukur apabila jalan baru lingkar utara diberi nama JL KYAI HASAN MAOLANI atau JL EYANG HASAN MAOLANI sebab kepahlawanan Eyang Kyai Hasan Maolani meski belum secara formal diberikan pemerintah pusat, beliau adalah pejuang besar, ulama besar dan insya Alloh waliyulloh yang sangat diperhitungkan oleh penjajah Belanda sampai diasingkan keluar pulau Jawa. Penjajah Belanda menyebut Kyai Hasan Maolani sebagai TIGA TOKOH ATAU GURU JAWA.
Bagaimana dengan keluarga hususnya saudara saudara EKHM juga tokoh tokoh lokal lainya selain anak anak dan cucunya, karena penulis belum menemukan sejarah pasti sampai mengapa Kyai Tubagus Lukman di Makamkan di Cimaranten Ciawigebang waktu itu ?
Siapa sajakah saudara saudara kyai Sathori, kakek EKHM yang makamnya ada di Citangtu Kuningan ?
Kemudian adakah pitutur terkait gambaran wajah Eyang Kyai Hasan Maolani, sebab sewaktu pangeran Diponegoro ditangkap, dapat dilukis oleh pelukis Raden Saleh ( dan itu menjadi salahsatu syarat dan bukti otentik untuk memperoleh gelar Pahlawan Nasional).
Demikian sekilas sejarah Eyang Kyai Hasan Maolani yang patut terus digali dan diketahui oleh para keturunan yang miliki komitmen kuat untuk merawat dan meneruskan perjuangannya disegala bidang.
Wallohu a’lam.
Penulis keturunan Eyang Hasan Maolani dengan nasab laki laki, dan saksi keturunan Alhamdulillah masih hidup….
H.Yusron Kholid bin Kyai M.Oban Shobari bin Kyai Djamali bin Kyai Ijmali bin Kyai Imamuddin bin Kyai Hasan Maolani.
Refferensi ;
- Muhammad Nida Fadlan : Kajian, Kyai Hasan Maolani Lengkong, Sejarah dan Surat Suratnya Dari Tanah Pengasingan.
- GWJ. Drewes, Drie Javaansche Goeroe’s, -Hun Leven Onderricht En Messiasprediking – 1925
- Buku Sejarah Desa Cikaso.
- Pitutur Sesepuh dan sejarawan Kuningan.