Home / Lingkungan / Longsor Lereng Arunika, Avo: Akhiri Kegaduhan, Saatnya Fokus pada Solusi Berkelanjutan

Longsor Lereng Arunika, Avo: Akhiri Kegaduhan, Saatnya Fokus pada Solusi Berkelanjutan

KUNINGAN – Satu pekan sudah kegaduhan menyelimuti peristiwa longsor yang terjadi di lereng utara Lembah Cilengkrang, kawasan wisata Arunika. Dalam beberapa hari terakhir, publik disuguhi berbagai pernyataan pembelaan diri dan saling menyalahkan dari sejumlah pihak, mulai dari pengelola wisata hingga instansi terkait.

Kini, sejumlah elemen masyarakat mulai menyerukan agar polemik ini dihentikan dan seluruh pihak beralih pada langkah nyata yang mengutamakan keselamatan dan kelestarian lingkungan.

Salah satunya diungkapkan aktivis lingkungan, Avo Juhartono, yang gencar bersuara melalui akun media sosial miliknya. Menurut Avo, tak ada yang bisa menyangkal bahwa longsor tersebut merupakan fakta lapangan yang sudah diakui oleh semua pihak.

Bahkan tumpukan dalih dan pembelaan pun tak mampu menghapus kenyataan bahwa tebing lereng utara Arunika benar-benar mengalami keruntuhan.

“Persoalan ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan berdebat soal penyebab tunggal, entah karena rembesan air limbah, pipa bocor, atau curah hujan tinggi. Yang jauh lebih penting adalah bagaimana semua pihak segera berfokus pada penanganan konkret,” papar Avo saat ditemui di saat acara “Sawala Alam” di Balai Desa Pajambon, Sabtu (24/5/2025).

Avo menambahkan, pihak pengelola wisata Arunika pada acara Sawala Alam ini menyatakan bahwa peristiwa longsor bukan dipicu oleh pembangunan mereka semata, sebab sebelum kawasan ini dikembangkan menjadi destinasi wisata, lereng tersebut juga sempat mengalami longsor pada 2007 dan 2014.

Meski begitu, masih kata Avo, banyak pihak mempertanyakan mengapa pembangunan tetap dilakukan sangat dekat dengan tebing yang mereka ketahui rawan longsor. Seharusnya, kesadaran akan potensi bahaya tersebut menjadi pertimbangan utama dalam merancang aktivitas wisata di kawasan tersebut.

Perbedaan yang paling mencolok antara longsor yang terjadi sebelumnya dan sekarang adalah meningkatnya tingkat risiko. Dahulu, dampak longsor hanya dirasakan oleh petani dan tanaman di sekitarnya. Namun kini, kawasan tersebut telah berkembang menjadi lokasi wisata yang ramai dikunjungi, dengan banyak bangunan dan aktivitas manusia di atasnya.

“Artinya, potensi korban jiwa maupun kerusakan infrastruktur jauh lebih besar. Inilah yang membuat peristiwa longsor kali ini menyita perhatian publik,” ujarnya.

Dalam situasi seperti ini, sebut Avo, respons cepat dan terkoordinasi dari semua pihak sangat dibutuhkan. Penguatan struktur lereng, pengendalian air permukaan melalui biopori dan sumur resapan, serta rehabilitasi lahan dengan tanaman pengikat tanah menjadi langkah teknis yang bisa segera dilakukan.

“Kawasan wisata seperti Arunika ini juga perlu dilengkapi dengan rambu peringatan bahaya, jalur evakuasi, dan pembatasan aktivitas di zona rawan untuk mencegah risiko yang lebih besar. Selain itu, seluruh pelaku usaha di kawasan Palutungan yang berada di atas tebing lereng juga harus turut bertanggung jawab melakukan hal serupa,” papar dia.

Lebih dari sekadar penanganan darurat, peristiwa bencana di titik ini menjadi saat tepat untuk mengevaluasi seluruh pemanfaatan ruang di kawasan Palutungan. Peraturan Bupati Kuningan Nomor 84 Tahun 2020 tentang Pemanfaatan dan Pengendalian Ruang Kawasan Palutungan, kata Avo, harus kembali ditegakkan secara konsisten.

“Pemerintah daerah perlu segera melakukan audit menyeluruh terhadap aktivitas pembangunan di kawasan lindung, termasuk meninjau perizinan yang telah diberikan. Jika ditemukan ketidaksesuaian, langkah korektif baik secara teknis maupun administratif harus segera ditempuh,” tambahnya lagi.

Kehadiran Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dalam proses perizinan juga seharusnya menjadi keharusan, bukan hanya dilibatkan saat bencana terjadi. Kajian Risiko Bencana (KRB) yang dimiliki BPBD bisa menjadi acuan penting dalam setiap rencana pembangunan, guna memastikan bahwa investasi yang dilakukan sejalan dengan prinsip mitigasi dan keberlanjutan.

“Polemik ini tidak semestinya dibaca sebagai upaya untuk menghambat dunia usaha. Sebaliknya, ini adalah ikhtiar kolektif untuk menciptakan ekosistem wisata yang aman, lestari, dan berdaya saing,” tandasnya. (NARS)

Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *