Home / Kuningan / Jangan Pertaruhkan Generasi, LSM Frontal Desak Pemerintah Hentikan Sementara Program MBG

Jangan Pertaruhkan Generasi, LSM Frontal Desak Pemerintah Hentikan Sementara Program MBG

KUNINGAN – Ketua LSM Frontal, Uha Juhana, menyoroti keras temuan kadar nitrit yang melebihi ambang batas aman dalam menu program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Kabupaten Bandung Barat. Ia menyebut, program nasional yang digadang-gadang untuk meningkatkan gizi anak sekolah itu justru berpotensi membahayakan kesehatan generasi muda.

Menurut laporan Kompas edisi 3 Oktober 2025, kadar nitrit pada menu MBG berupa melon dan lotek di Bandung Barat tercatat mencapai 3,91 mg/L dan 3,54 mg/L, atau hampir empat kali lipat dari batas aman 1 mg/L yang ditetapkan Environmental Protection Agency (EPA).

Akibatnya, sebanyak 1.315 siswa dilaporkan mengalami gejala keracunan seperti mual, muntah, pusing, lemas, dan sesak napas.

“Ini bukan lagi kesalahan teknis, tapi sudah masuk kategori kejahatan terhadap anak bangsa,” tegas Uha Juhana, Sabtu (4/10/2025).
Menurutnya, penggunaan pengawet berlebihan serta proses pemasakan yang tidak sesuai standar diduga menjadi penyebab utama tingginya kadar nitrit tersebut.

Uha menjelaskan, dalam proses memasak dengan suhu tinggi, zat nitrit dapat berubah menjadi nitrosamin, senyawa karsinogenik yang berpotensi menyebabkan kanker lambung dan pankreas. Ia menilai praktik tersebut menunjukkan lemahnya pengawasan dan minimnya kompetensi pelaksana di lapangan.

“Kalau sudah sampai anak-anak keracunan massal, berarti sistemnya yang salah. Penggunaan bahan pengawet untuk menyiapkan makanan dari malam hari itu tindakan ceroboh,” ujarnya.

Ia juga menyoroti dugaan adanya penyimpangan dalam pengelolaan anggaran program MBG yang mencapai Rp71 triliun, namun baru terserap sekitar Rp13 triliun.
“Sisanya ke mana? Jangan sampai program bergizi malah jadi ladang korupsi,” kata Uha.

Menurut dia, pemerintah perlu segera melakukan evaluasi total terhadap program MBG. Ia mendorong agar pengelolaan penyediaan makanan untuk siswa diserahkan kepada pihak sekolah secara mandiri dengan pengawasan ketat dari kepala sekolah, orang tua, atau koperasi sekolah.

“Kalau dapur sekolah yang masak, pengawasan pasti lebih kuat. Mereka takut kalau anak-anak keracunan, bukan cuma takut audit,” ujar Uha.

Uha juga membandingkan sistem penyediaan makanan di negara lain seperti Korea, Tiongkok, dan Amerika Serikat yang sudah menerapkan standar ketat. Di negara-negara tersebut, setiap sekolah memiliki kantin khusus dengan chef terlatih dan pemeriksaan kesehatan rutin bagi setiap bahan makanan.

“Indonesia harus meniru sistem itu, bukan menjadikan proyek ini sebagai alat politik atau balas jasa kampanye,” tambahnya.

LSM Frontal menilai, solusi jangka pendek yang paling realistis adalah menghentikan sementara pelaksanaan MBG, hingga seluruh mekanisme dapur penyedia makanan diverifikasi ulang dan memenuhi standar keamanan pangan.
“Kalau pemerintah terus memaksakan, sama saja mempertaruhkan nyawa anak-anak bangsa,” pungkas Uha Juhana. (Nars)

Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *