KUNINGAN – Beberapa waktu terakhir, masyarakat Kuningan diresahkan oleh serangkaian serangan macan tutul yang memangsa ternak warga. Hewan buas yang seharusnya hidup di kedalaman hutan ini kini memasuki perkampungan, menebar ketakutan, dan memicu perburuan. Banyak yang melihat kejadian ini semata sebagai ancaman satwa liar, namun jarang yang mau mengakui bahwa teror ini adalah akibat dari ulah kita sendiri.
Pegiat lingkungan dari DPD Gema Jabar Hejo Kuningan, Ali M Nur, menilai hutan-hutan di daerah Kuningan perlahan menyusut, banyak tergantikan oleh lahan pertanian, perkebunan, atau proyek pembangunan yang mengabaikan daya dukung lingkungan. Tak sedikit warga yang menebang pohon di area hutan demi memperluas lahan atau mengambil kayu.
- Puluhan Dapur MBG di Kuningan Beroperasi Tanpa Pengawasan Penuh
- Dramatis, 5 Petugas Satpol PP Sigap Amankan Pria Ngamuk Serang Warga
- Anggaran Damkar Kuningan Disorot Golkar: Hanya Rp105 Juta, Tak Sebanding dengan Risiko Petugas
- Fraksi Amanat Restorasi Ingatkan Pemkab Kuningan: Jalan Mulus Tak Ada Artinya Jika Anak Masih Gizi Buruk
- Fraksi PKS Beberkan ‘PR Besar’ Pemkab Kuningan: Dari Tata Ruang Mangkrak Hingga Mafia Perizinan
Sementara itu, perburuan babi hutan hingga kijang yang menjadi sumber makanan alami predator seperti macan tutul terus terjadi. Akibatnya, rantai makanan terganggu dan ketersediaan mangsa di hutan semakin menipis.
“Dalam kondisi ini, macan tutul mendekati permukiman bukan karena keinginan, melainkan terpaksa. Diduga, ini akibat habitatnya rusak, makanannya hilang, dan insting bertahan hidup memaksanya mencari alternatif di luar wilayah jelajahnya,” papar Ali.
Untuk mencari makanan, imbuhnya, kambing, ayam, atau domba warga menjadi pilihan termudah untuk dimangsa macan tutul ini. Bukan karena sifat buasnya meningkat, tetapi karena alam telah menutup jalan mereka untuk hidup seperti semula.”Solusinya harus menyentuh akar persoalan, seperti rehabilitasi hutan, penguatan patroli satwa, dan edukasi masyarakat tentang cara mengamankan ternak,” ujarnya.
Ali melanjutkan, pemerintah daerah perlu bekerja sama dengan pihak terkait seperti BKSDA, dan lembaga konservasi untuk menciptakan sistem peringatan dini, misalnya melalui kamera jebak (camera trap) atau patroli malam di desa rawan. Untuk warganya bisa mengamankan ternak dengan memasang pagar kawat duri atau memindahkan ke area pemukiman bukan di sawah atau hutan guna meminimalisir teror macan tutul.
”Kita perlu mengubah cara pandang. Macan tutul bukan musuh, melainkan indikator kesehatan ekosistem kita. Hilangnya mereka dari hutan adalah tanda bahwa alam sedang tidak baik-baik saja. Teror yang kita hadapi hari ini adalah peringatan, jika hutan terus hilang, konflik akan semakin sering terjadi tidak hanya dengan macan tutul, tetapi juga satwa liar lainnya,” papar Ali.
Ia menyebutkan, menjaga hutan berarti menjaga jarak aman antara manusia dan predator. Dan menjaga jarak itu berarti melindungi keduanya. Sebab, dalam ekosistem yang seimbang, manusia dan macan tutul seharusnya tidak perlu bertemu dalam keadaan saling mengancam.
Perwakilan dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Cirebon, Niki, turut mengomentari peristiwa tersebut. Ia juga menyebutkan kawasan hutan pemukiman yang ditebang juga bisa jadi alasan mereka turun gunung. Pernyataan ini menegaskan fakta bahwa hilangnya habitat satwa liar adalah pemicu utama eskalasi konflik ini.
Menanggapi kasus yang terus berulang, tim BKSDA Cirebon pada 9 Agustus lalu menginap di kawasan hutan Hantara selama satu malam untuk melakukan pengamatan.”Tim BKSDA melakukan observasi macan tutul sejak Sabtu sore, sekaligus memberikan edukasi kepada masyarakat terkait langkah pencegahan dan penanganan konflik satwa liar,” ujar Niki.
Ironisnya, kata Niki, sistem pemeliharaan ternak warga setempat juga rentan. Banyak kandang dibangun seadanya, tanpa pagar pengaman atau lampu penerangan memadai. Akibatnya, seekor macan tutul dapat memangsa ternak dengan mudah dalam satu malam, dan warga baru menyadari saat pagi menjelang.
Sebelumnya teror hewan buas ini terjadi di sejumlah desa termasuk di Desa Tugumulya, Kecamatan Darma. Laporan terakhir menyebutkan total lima kambing warga dimangsa macan tutul. Kejadian itu mengubah ritme kehidupan masyarakat, aktivitas terganggu, rasa takut merayap setiap malam, dan waktu yang seharusnya digunakan untuk beristirahat terpaksa dialihkan untuk berjaga di kandang.
Warga kini hidup dalam kecemasan yang tak semestinya.Teror serupa juga melanda Kecamatan Hantara. Puluhan ekor kambing milik warga menjadi korban serangan macan tutul dalam beberapa kejadian terpisah. (UN)